Ancaman Ekspansi Tambang Raja Ampat yang Direstui Negara
Minggu, 8 Juni 2025 09:14 WIB
Ekspansi tambang nikel merambah hutan tropis, mencemari laut, dan merusak masa depan wilayah ini secara sistematis dan direstui negara.
***
Di tengah gempita promosi pariwisata hijau dan regeneratif yang kian gencar digaungkan oleh pemerintah, kisah nyata dari Raja Ampat justru menyimpan ironi yang dalam. Kawasan kepulauan yang telah diakui sebagai Unesco Global Geopark ini bukan hanya simbol keindahan alam Indonesia, tetapi juga lambang dari perjuangan panjang masyarakat adat mempertahankan ruang hidupnya. Namun, di balik narasi keberhasilan dan jargon keberlanjutan, mengintai ancaman yang nyata: ekspansi tambang nikel yang merambah hutan tropis, mencemari laut, dan merusak masa depan wilayah ini secara diam-diam namun sistematis—dengan restu negara.
Pemerintah pusat, melalui berbagai kementerian dan izin yang diterbitkan, secara gamblang menunjukkan keberpihakan yang lebih besar kepada kepentingan industri ekstraktif dibanding kepada rakyat yang telah berabad-abad menjaga tanah dan lautnya. Dalam banyak pernyataan resmi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjanjikan pembangunan pariwisata regeneratif yang berbasis komunitas dan ramah lingkungan. Namun, janji itu tampak sekadar kosmetik kebijakan ketika izin tambang terus diperluas dan korporasi semakin leluasa menancapkan kuku modalnya di tanah-tanah adat.
Laporan investigasi yang dirilis oleh Associated Press dan lembaga riset lingkungan Auriga Nusantara mengungkap bahwa ekspansi tambang nikel di wilayah Sorong dan sekitarnya, yang masuk dalam kawasan bentang alam Raja Ampat, telah menimbulkan deforestasi signifikan, pencemaran air sungai, serta dampak langsung terhadap keanekaragaman hayati laut, termasuk spesies langka seperti penyu sisik dan pari manta. Lebih dari itu, proses perizinan tambang banyak dilakukan tanpa konsultasi yang sungguh-sungguh dengan masyarakat adat, melanggar prinsip-prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) yang menjadi standar internasional dalam perlindungan hak-hak masyarakat lokal.
Ironisnya, Mahkamah Konstitusi Indonesia pada tahun 2022 telah mengeluarkan putusan penting bahwa pulau-pulau kecil harus dilindungi dari kegiatan pertambangan yang mengancam kelestarian ekologisnya. Namun hingga kini, implementasi dari putusan tersebut justru diabaikan. Pemerintah daerah, yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak rakyat, kerap terjepit dalam tarik menarik antara tekanan pusat dan kepentingan investasi. Celakanya, dalam banyak kasus, suara masyarakat yang menolak tambang malah dibungkam—dengan kriminalisasi, intimidasi, atau diabaikan begitu saja.
Sementara itu, narasi pariwisata hijau terus digembar-gemborkan. Padahal, mustahil membangun pariwisata regeneratif di atas tanah yang sedang digerus buldoser tambang. Mustahil mendatangkan wisatawan global dengan janji "eco-tourism" jika dasar ekologinya justru dikorbankan oleh kebijakan negara sendiri. Ini bukan hanya soal inkonsistensi, tetapi soal pengkhianatan terhadap prinsip pembangunan berkelanjutan yang selama ini dijadikan dalih oleh elite kekuasaan.
Dalam kerangka pembangunan nasional, Raja Ampat tampaknya dijadikan alat legitimasi citra Indonesia di mata internasional—sebagai negeri tropis yang ramah lingkungan, yang sukses menjaga keanekaragaman hayatinya. Tetapi realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa kepulauan ini tengah menjadi medan baru dari konflik laten antara rakyat dan negara, antara konservasi sejati dan kapitalisasi ruang.
Pemerintah pusat harus bertanggung jawab. Bukan hanya dalam bentuk janji retoris, tetapi dengan kebijakan konkret yang mengakhiri ekspansi pertambangan di seluruh wilayah sensitif ekologis, termasuk Raja Ampat. Hak masyarakat adat harus dikembalikan sebagai prinsip utama pengelolaan wilayah, bukan sekadar formalitas dalam dokumen perencanaan pembangunan. Jika tidak, maka semua klaim tentang keberlanjutan hanyalah bentuk greenwashing—kosmetik moral yang menutupi ketimpangan struktural dan pengkhianatan terhadap masa depan bumi.
Raja Ampat kini benar-benar berada di persimpangan jalan. Apakah akan terus menjadi surga yang dijaga oleh rakyat dan diwariskan kepada generasi mendatang, atau justru menjadi korban baru dari kerakusan modal yang disponsori oleh negara sendiri? Sejarah akan mencatat pilihan ini. Dan rakyat tidak akan lupa siapa yang memihak, dan siapa yang menggadaikan tanahnya demi angka pertumbuhan ekonomi semu.

Penulis Indonesiana, komisaris dpk gmni up45 Yogyakarta,
2 Pengikut

Ancaman Ekspansi Tambang Raja Ampat yang Direstui Negara
Minggu, 8 Juni 2025 09:14 WIB
Aksi Demonstrasi di Palopo
Senin, 26 Mei 2025 17:08 WIBArtikel Terpopuler